[close]

SELAMAT DATANG DI BLOG GOLDEN INFO

Blog ini dibuat untuk memberikan informasi kepada pengunjung blog "GOLDEN INFO"

Rabu, 25 November 2009

AJARAN ISLAM YANG TERLUPAKAN


AJARAN ISLAM YANG TERLUPAKAN


Islam adalah agama komprehensif yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak hanya sebatas ritual ibadah, tapi juga mu’amalah dan tata pergaulan antar sesama. Bahkan tidak hanya cukup sampai di situ, lebih jauh Islam juga mengajarkan bagaimana sikap mental yang harus dimiliki oleh seorang Muslim. Hal ini akan tergambar jelas kalau kita mau mencermati periodesasi dakwah Rasulullah. 13 ( tiga belas ) tahun Rasulullah mengembangkan syi’ar Islam di Makkah, selama itu Rasulullah fokus membina aqidah umat yang sebenarnya sangat berkaitan erat dan sangat berpengaruh terhadap sikap mental yang harus dimiliki oleh seorang mukmin.. Didikan mental selama di Makkah inilah yang pada akhirnya melahirkan para sahabat dengan kepribadian yang mengesankan dan membentuk generasi terbaik sepanjang sejarah.


Namun hal inilah yang sering terlupakan oleh kaum Muslimin sehingga kajian Islam banyak terfokus kepada persoalan-persoalan ritual ibadah dan melupakan dimensi muamalah dan sering meninggalkan dimensi pembinaan mental yang sesungguhnya merupakan salah satu cara Islam untuk mendidik kaum Muslim menjadi pribadi-pribadi yang unggul. Dan yang lebih mengherankan lagi, justru banyak diantara dimensi mental psikologis dan sikap tersebut lebih banyak dijalankan dengan lebih sempurna oleh orang-orang non Muslim. Sehingga tepat apa yang dikatakan oleh Muhammad Iqbal , “ Di Timur banyak sekali ditemukan Muslim akan tetapi sangat sulit menemukan Islam, sementara di Barat banyak sekali ditemukan Islam walaupun sangat sulit mencari individu yang mengaku sebagai Muslim” . Ungkapan Muhammad Iqbal ini benar adanya apabila kita melihat kondisi dan kenyataan yang dihadapi oleh orang-orang Islam ( Muslim ) dan mebandingkannya dengan apa yang dimiliki oleh non Muslim dengan sikap yang mereka punya.

Ada beberapa hal yang bisa dijadikan tolok ukur :

1. Disiplin dan Penghargaan terhadap Waktu

Berbicara mengenai ‘waktu’ mengingatkan kita kepada ungkapan Malik Bin Nabi dalam bukunya “ Syuruth An-Nahdhah ( Syarat-syarat Kebangkitan ) saat ia memulai urainnya dengan mengutip satu ungkapan yang dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis Nabi SAW : “ Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali dia berseru. “Putra-putri Adam, aku waktu, aku ciptaan baru, yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat.”

Kemudian, tulis Malik Bin Nabi lebih lanjut : “ Waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak dahulu kala, melintas pulau, kota, dan desa, membangkitkan semangat atau meninabobokkan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya, walaupun segala sesuatu —selain Tuhan – tidak akan mampu melepaskan diri darinya.”

Sedemikian besar peranan waktu, sehingga Allah Swt berkali-kali bersumpah dengan menggunakan berbagai kata yang menunjuk pada waktu-waktu tertentu seperti wa al-Lail ( demi Malam ), wa An-Nahar ( demi Siang ), wa as-Subhi, wa al-Fajr, dan lain-lain. Dan peringatan Allah akan pentingnya waktu tergambar jelas dalam Surat Al-Ashr.

Masa adalah modal utama manusia. Apabila tidak diisi dengan kegiatan, waktu akan berlalu begitu. Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. pernah bersabda, “ Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan perolehannya lebih banyak di hari esok, tetapi waktu yang berlalu hari ini, tidak mungkin kembali esok.”

Akan tetapi inilah yang sering dilupakan oleh kaum Muslim sehingga benar apa yang dikatakan Rasulullah :
“ Dua nikmat yang sering dan disia-siakan oleh banyak orang : kesehatan dan kesempatan.” ( HR.Bukhari )

Kalau saat ini muncul pertanyaan siapa yang paling disiplin dan paling bisa menghargai waktu, mungkin jawabannya bukanlah orang-orang Islam yang mempunyai Al-Qur’an dan Hadits yang mengajarkan hal itu, akan tetapi bisa jawabannya adalah orang-orang barat yang tidak pernah kenal dengan Al-Qur’an dan Hadits. Kalau kita perhatikan kehidupan generasi muda mereka, dalam bis atau kenderaan umum pun mereka masih menyempatkan diri untuk membaca buku, bahkan kalau kita melihat didalam toilet merekapun terdapat koran.


2. Kebersihan

Dalam sebuah hadits yang sangat populer ( Riwayat Bukhari) Rasulullah mengatakan bahwa kebersihan itu adalah sebagian dari Iman ( al-Nazhafah Min al-Iman ).

Bahkan dalam kitab-kitab fikih kita menemukan pembahasan Thaharah ( bersuci/kebersihan ) merupakan masalah yang paling pertama dibicarakan. Lima kali sekurang-kurangnya kita menghadap Allah dalam satu hari satu malam, dimana ibadah tersebut tidak bisa kita laksanakan sebelum kita membersihkan diri dari najis dan hadas. Tidak ada agama lain yang memiliki konsep seperti ini yang menyatakan bahwa kebersihan adalah bagian dari ibadah, akan tetapi kenyataan yang ada didepan mata kita berbicara bahwa umat Islam adalah orang-orang yang ketinggalan di dalam masalah kebersihan. Kita mungkin bisa membandingkan bagaimana kebersihan di lembaga-lembaga pendidikan Islam dengan lembaga-lembaga pendidikan agama lain.


3. Mental Untuk Memberi

Dalam sebuah hadits Rasulullah mengatakan :
“ Tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah.” ( HR.Bukhari Muslim ).

Pelajaran inilah yang menginspirasi para sahabat untuk menjadi pihak yang selalu memberi dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak menjadi pihak yang selalu menerima uluran tangan dari orang lain. Dikiahkan, pada saat kaum Muslimin Makkah hijrah ke Madinah, Rasulullah mengambil suatu kebijakan untuk memepersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar. Hal ini bertujuan agar kondisi kaum Muhajirin yang memprihatinkan karena harus hijrah tanpa membawa apa-apa bisa dibantu oleh kaum Anshar.

Pada saat itu, Abdurrahman bin Auf yang tidak emiliki apa-apa ditawari oleh saudara Ansharnya, “ Wahai Abdurrahman, saya punya dua bidang kebun korma, silahkan ambil satu untuk memenuhi kebutuhan hidupmu. Saya punya dua ekor kuda, silahkan ambil satu sebagai kenderaanmu. Dan saya punya dua orang isteri. Kalau kau berkenan silahkan pilih satu untuk kau jadikan isteri, niscaya nanti aku ceraikan”. Abdurrahman bin Auf yang dalam kondisi sangat membutuhkan tidak serta merta menerima tawaran itu, dia justru berkata :
“ Dullani Ilassuq, tunjuki aku jalan ke pasar, biar di sana saya mengadu nasib”.
Inilah sikap yang ditunjukkan oleh sahabat didikan Rasulullah, sangat berbeda dengan kondisi masyarakat kita sekarang yang berdesak-desakkan untuk mendapatkan zakat, rela berbantah-bantahan untuk mendapat Bantuan Langsung Tunai (BLT ) dari pemerintah. Contoh yang lebih baik justru ditunjukkan oleh orang-orang China yang notabene tidak mengenal Islam. Konon di China para pengangguran mendapatkan tunjangan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sampai mendapatkan pekerjaan. Akan tetapi para pemuda China malu mendapatkan tunjangan tersebut dan tidak ingin berlama-lama menggantungkan hidup dari belas kasihan pemerintahnya. Coba kita bayangkan bagaimana kalau seandainya hal ini ada di Indonesia, niscaya akan banyak muslim Indonesia yang betah jadi pengangguran. Sebagai Muslim yang baik marilah kita bertekad untuk memberi sebanyak-banyaknya, jangan pernah berpikir untuk menerima sebanyak-banyaknya, karena “Khairunnas Anfa’uhum Linnas” sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia lain.


4. Budaya Malu

Rasulullah mengatakan bahwa :
“ Malu adalah sebagian dari Iman”. ( HR.Bukhari Muslim )

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah mengatakan Al-Haya’u la ya’ti illa bi khair ( Malu tidak membawa apapun kecuali kebaikan ).

Rasa malu seharusnya ditunjukkan disaat kita tidak bisa mengemban amanah yang diberikan. Seorang pemimpin harus malu di saat ia tidak amanah dan tidak disenangi masyarakat. Guru juga harus malu apabila ia gagal melahirkan murid yang berprestasi. Pegawai juga harus malu kalau ia hanya memakan gaji buta tapi gagal melayani masyarakat. Dalam keluarga, ayah mesti malu kalau tidak berhasil mendidik anak. Ibu harus malu kalau tidak bisa menjadikan rumahnya sebagai hunian yang nyaman bagi suami dan anak-anaknya. Dan anak seharusnya malu kalau ia tidak bisa mebahagiakan dan mengukir kebanggaan di wajah orang tuanya. Akan tetapi di negara Muslim manakah hal ini bisa kita temukan. Dibelahan bumi Indonesia mana hal ini bisa kita jumpai. Hal ini justru bisa kita temukan di Jepang. Di mana sering kita mendengar Perdana Menteri yang mengundurkan diri di saat merasa dirinya gagal bahkan banyak kita mendengar para insinyur atau jenderal yang bunuh diri karena malu tidak bisa menyelesaikan proyek atau misi yang diembankan kepadanya.

Rasa maluyang pada akhirnya melahirkan perasaan dan semangat untuk menunaikan tanggung jawab. Denagn demikian, akan sangat mengherankan disaat kita temui kenyataan yang sebaliknya ditengah masyarakat Islam. Ada kecendrungan bahwa kaum Muslimin tidak malu berbuat maksiat, jangankan untuk malu dihadapan Allah yang tidak ia lihat. Di hadapan manusia yang ada di hadapan merekapun mereka tidak malu. Bahkan yang lebih parah lagi ada generasi muda yang merasa malu dan tidak jantan kalau tidak ikut berbuat dosa. Na’udzu Billah.

Ditempat lain kita temukan kenyataan yang berbeda, dimana orang-orang yang tidak mampu mengemban amanah tanpa rasa malu masih mengemis amanah dan mempertahankan jabatan yang mereka sandang. Inilah yang digambarkan oleh Rasulullah, bahwa di akhirat kelak akan ada sekelompok manusia yang memikul beban yang sangat berat dan tidak bisa mereka pikul, akan tetapi mereka masih meminta agar beban yang mereka pikul terus ditambah.

Demikianlah segelintir ajaran Islam yang jarang diperhatikan oleh umat Islam dan cendrung merasa bahwa hal yang kita kemukakan diatas bukanlah bagian dari ajaran Islam.

( Sumber : Bulettin Dakwah Lembaga Kajian dan Dakwah Islam-Kampar )


BACA JUGA :






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Subscribe to updates

Mengenai Saya

Foto saya
Saya tamatan Universitas Andalas - Padang Angkatan 1990, Jurusan Akuntansi. SMA 6 Pekanbaru angkatan 1987.

Pengikut