Sebelum berdirinya kerajaan Siak Sri Indrapura pada tahun 1723, daerah Siak dan sekitarnya berada dibawah penguasaan kerajaan Johor-Riau sebagai Pewaris Kesultanan Melaka. Oleh karena itu raja-raja Siak ditunjuk dan diangkat oleh raja kerajaan Johor-Riau. Pada masa kerjaan Johor - Riau diperintah oleh Sultan Mahmud Syah 1, beliau mengangkat Raja Abdullah di Siak dengan gelar Sultan Khoya Ahmad Syah. Kemudian pada tahun 1596 Raja Hasan Putra Sultan Ali Jallo Abdul Jalil Raja Johor-Riau, di tabalkan sebagai Raja di Siak . Raja Hasan memerintah sampai tahun 1662.
Setelah tahun 1662 kerajaan Johor-Riau menganggap bahwa di Siak tidak perlu didudukkan seorang raja sebagai wakil pemerintah kerajaan Johor-Riau. Hal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan aspek ekonomis, bukan berdasarkan atas pertimbangan politis maupun pertahanan dan keamanan. Dari aspek ekonomis dianggap bahwa kalau di Siak didudukkan seorang Raja jelas akan memerlukan dana yang tidak sedikit, dibandingkan dengan perdagangan di Siak dan di sepanjang aliran sungai Siak belum menunjukkan suasana yang menguntungkan. Timah dan emas merupakan komoditi utama dari Petapahan, itupun hanya tersedia puluhan pikul saja, tidak seperti diharapkan. Sementara itu dari segi politis dan Hankam kerajaan Johor – Riau merasa yakin bahwa mereka mempunyai kekuatan yang tangguh.
Pada masa itu kerajaan Johor-Riau sudah menjalin persahabatan dengan Belanda dalam menghadapi Portugis, dan musuh-musuh lainnya, sehingga kerajaan-kerajaan di sekitar Selat Melaka menyegani mereka apabila ada kekuatan lain yang ingin mencobamenyerang atau menguasai Siak, angkatan laut kerajaan Johor – Riau akan segera beraksi untuk mengusir agresor tersebut.
Siak yang semula berada dibawah kekuasaan Johor Riau sudah berakhir, sebab Raja Kecil pada tahun 1723 mendirikan kerajaan yang berdiri sendiri di “ Buantan” . Beliau menjadi raja pertama dengan gelar “ Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah “ ( 1723 – 1746 ). Kemudian pada masa pemerintahan “ Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah “ Raja Kedua, Kerajaan Siak, resmi namanya menjadi Siak Sri Indrapura, artinya Kerajaan buantan merupakan cikal bakal dari kerajaan Siak Sri Indrapura.
Setelah mangkatnya Raja Kecil, Tengku Buang menaiki tahkta kerajaan menggantikan Raja Kecil dengan gelar Sultan Abdul Jalil Nuzaffar Syah tahun 1746. Sultan kedua ini memindahkan ibu kota kerajaan dari Buantan ke hulu sungai Siak yang bernama “ Nempurna”, nama kerajaan adalah Siak Sri Indrapura.
Pada tahun 1765 Sultan Abdul Jalil Muzaffar wafat, maka sebagai pengganti beliau diangkatlah putra Tengku Ismail dengan gelar “ Sultan Abdul Jalil Jalaluddin Syah”. Sebelum meninggal ayahnya berwasiat agar tidak mengadakan hubungan dengan Belanda, dan jangan sampai terjadi perselisihan atau perang sesama saudara, dan apabila pamannya Raja Alamuddin kembali ke Siak harus menyerahkan tahta kerajaan kepada pamannya, demi menentukan eksentensi kerajaan Siak Sri Indrapura. Rupanya Belanda mulai melirik atas pengangkatan Sultan Abdul Jalil Jalaluddin Syah, dan mulailah Belanda menjalankan “ Politik devide et empera”, politik pecah belah dalam upaya melakukan kembali intervensi terhadap kerajaan Siak Sri Indrapura yang sebelumnya mengalami kegagalan, karena kekalahannya dalam perang Guntung.
Dengan mematuhi wasiat dari ayahnya, maka Sultan Abdul Jalil Jalaluddin Syah menyerahkan tahta kerajaan kepada pamannya Raja Alamuddin dengan gelar “ Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah” dengan kurun waktu 1766 – 1780. Pada masa inilah Belanda mulai melakukan intervensi dan menanamkan pengaruhnya di kerjaan Siak Sri Indrapura, karena Belanda juga berperan untuk menjadikan Raja Almuddin sebagai Raja Siak Sri Indrapura. Namun hal ini membuat Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah tidak merasa senang atas eksistensi Belanda di Siak Sri Indrapura.
Atas beberapa pertimbangan, maka Sultan Abdul Jalil Almuddin Syah memindahkan ibu kota kerajaan dari Mempura ke Senapelan pada awal tahun 1767. Akhirnya Senapelan menjadi ramai dengan jalur perdagangan, dan dibangun pula sebuah Pekan ( Pasar) yang baru yang disebut “ Bandar Pekan”, akhirnya lebih dikenal menjadi “ Pekanbaru’, yang sekarang menjadi ibu kota provinsi Riau. Suatu hal yang dilakukan Sultan adalah merombak tradisi, yakni mengawinkan putrinya “ Tengku embung Badariah “ dengan seorang bangsa Wan Arab bernama “ Sayed Syarif Osman Ihnu Syarif : Abdul Hahman Syaha Buddin. Sejak beliaulah Keturunan Sultan Melayu di Siak Sri Indrapura dilanjutkan oleh Keturunan Arab.
Setelah Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah wafat tahun 1780, dan beliau digantikan oleh putranya Tengku Muhammad Ali dengan gelar “ Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah’ . Sebelum diangkat beliau adalah Panglima Besar Kerajaan, tahun 1760 berhasil menggagalkan Belanda untuk menguasai Siak Sri Indrapura.
Sultan ini tidak lama memegang kendali pemerintahan, karena beliau diangkat sebagai Sultan kelima kerajaan Siak Sri Indrapura dalam usia lanjut, masa pemerintahannya, beliau terus mengembangkan bidang perekonomian dan perdagangan, disamping itu juga membuka hubungan dagang dengan daerah tetangga Minangkabau, yaitu melalui Muara Mahat ke Payakumbuh. Demikian pula perdagangan dengan luar negeri ( Singapura ).
Setelah wafat anak pertama beliau Tengku Yahya dinobatkan sebagai Raja keenam Siak Sri Indrapura dengan gelar “ Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah” tahun 1782. Dia diangkat sebagai Sultan sesudah meninggalnya Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Nuazam Syah.
Sistem pemerintahan tidak berjalan baik, karena anak Tengku Embung Badariyah yang bernama “ Tengku Said Ali” menginginkan pula sebagai Sulatn Kerajaan Siak Sri Indrapura. Akibat tekanan dari Tengku Said Ali ini, akhirnya Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar memindahkan ibukota kerajaan kembali ke Mempura, untuk menghindarkan pertentangan dengan Tengku Said Ali.
Namun tekanan datang silih berganti dari Tengku Said Ali kepada Sultan Yahya maka Tengku Said Ali melakukan serangan sehingga memaksa Sultan Yahya ke luar dari istana Siak Sri Indrapura tahun 1784, dan menyingkir ke Kampar, dari sini beliau pergi ke Melaka untuk berziarah kemakam nenek moyangnya,dan akhirnya mangkat disana.
Setelah Sultan Yahya Abdul Jalil Nuzaffar Syah meninggal maka secara resmi diangkatlah Tengku Sayed Ali naik tahta kerajaan Siak Sri Indrapura dengan gelar “ Sultan Assyaidis Syarif Ali Syaifuddin Baalawi “ atau dipanggil Tengku Sayed Ali sejak inilah sistem pemerintahan atau struktur pemerintahan Siak Sri Indrapura keturunan Melayu-Arab.
Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin Baalawi sultan ketujuh memindahkan pusat pemerintahan Sri Mempura “ Kota Tinggi “, dengan pertimbangan Kota Tinggi terletak di tepi sungai Siak, dan memudahkan alur dagang. Masa Tengku Sayyed Ali inilah kerajaan Siak melakukan penaklukan-penaklukkan seperti Kota Pinang. Pagarawan, Batu Bara, Badagai, Kualuh, Panai, Bilah, Asahan, Serdang Langkat, Delim Temiang, Bangko, daerah Kubu, Pelalawan, Tanah Putih Kerajaan Sambasadi Kalimantan.
Tengku Sayyed Ali adalah Sultan yang cakap dan ahli dalam strategi perang, dan mampu menentukan para panglima perang yang punya kemampuan perang, sehingga pada masa pemerintahan beliau dapat menaklukkan mulai dari Temiang sampai Ke Pelalawan, dari Tapung sampai ke Sambas Kalimantan.
Pada tahun 1810 Tengku Sayyed wafat dan digantikan oleh Tengku Sayyed Ibrahim anak Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syarifuddin. Dia diangkat untuk menggantikan ayahndanya dengan gelar “ Sultan Syaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin Syah” yang merupakan Sultan ke delapan.. Dalam menjalankan pemerintahan beliau pada prinsipnya tidak sanggup karena beliau sering sakit-sakitan, sebagai pelaksanaan roda pemerintahan dijalankan Wali Sultan yakni “ Panglima Besar Tengku Muhammad “ .
Sultan inilah melakukan hubungan kerjasama dengan Inggris, pada tanggal 31 Agustus 1818 diikat suatu perjanjian dagang, yang ditanda tangani oleh Sultan Siak Sultan Ibrahim dan pihak Inggris Kolonel William Forquhar. Namun kontak dagang tersebut diktahui oleh Belanda, maka oleh Gubernur Belanda di Malaka A Corperns mengirim utusan “ Kapten D.Buys “ ke Siak untuk mengecek kebenarannya, dan sekaligus mengadakan perjanjian dengan Siak tahun 1822 di Bukit Batu. Isinya agar Siak tidak boleh mengadakan hubungan dengan negara lain, kecuali dengan Belanda.
Akibatnya Sultan menghadapi dua negara yakni Inggris dan Belanda, namun Sultan terlalu lemah dan tekanan dari kedua negara agresor tersebut menyebabkan Sultan seakan-akan teromabang ambing oleh dunia politik Eropa. Pada masa pemerintahannya inilah didirikan istana Siak Sri Indrapura di “ Kuala Mempura Kecil”, sekaligus sebagai tempat peristirahatan beliau, tahun 1827 beliau mangkat.
Setelah Sultan Sayed Ibrahim wafat, maka ia digantikan oleh Tengku Sayyed Ismail yakni anak saudara Sultan bernama Tengku Mandah yang kawin dengan Tengku Muhammad, yang bergelar “ Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin “ sultan ke sembilan.
Dengan pengangkatannya itu terjadi perselisihan dengan putera Sultan Ibrahim yakni Tengku Putera, karena ia juga ingin menjadi sultan. Akibat perselisihan tersebut Siak menjadi lemah, al ini menyebabkan daerah-daerah yang ditaklukkannya itu masa moyangnya, melepaskan diri dari kerajaan Siak Sri Indrapura. Belanda pun ikut memainkan politiknya, hal ini dengan ditandainya perjanjian atas Deli, Serdang, Langkat, dan Asahan masuk kedalam kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda pada tanggal 1 Februari 1858 ( DGE, Hall : 1988,549 ).
Sementara itu terjadi pula perselisihan dikalangan istana, dimana keluarga sultan yang tidak senang atas perjanjian antara Belanda dengan Sultan. Sultan Syarif Ismail wafat pada tahun 1864 sehingga digelar “ Marhum Indrapura “.
Setelah wafatnya Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin maka diangkatlah Sayed Kasim sultan kesepuluh dengan gelar “ Sultan Assyaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin pada tahun 1864. Beliau populer disebut “ Sultan Syarif Kasim I “ .
Sejak diangkat campur tangan Belanda sangat nampak sekali, sehingga pengangkatan Sultan Syarif Kasim I ini khabarnya dilakukan setelah mendapat restu “ Ratu Belanda “, di dalam Sultan ditempatkan pula seorang wakil pemerintah Belanda yang disebut “ Controleur “ .
Sementra itu pihak Kolonialisme Belanda yang terus melalukan konsolidasi pemerintahan didaerah pesisir timur Sumatera melihat prospek yang sangat baik bagi pengembangan perdagangan di masa datang. Untuk mempersiapkan hal tersebut, Belanda membentuk keresidenan baru yaitu keresidenan Sumatera Timur yang berpusat di Bengkalis, berdasarkan “ Putusan Gubernemen tanggal 15 Mei 1813 nomor 13 “ ( WHM.Schadeej 1918 : Bagian 11 Pasal 31 ). Wilayahnya meliputi antara lain Siak dan sekitarnya. Demikianlah Siak Sri Indrapura selama pemerintahan Sultan Syarif Kasim I, tahun 1889 beliau meninggal digelari dengan nama “ Marhum Mahkota “.
Mangkatnya Sultan Syarif Kasim I tanggal 21 Oktober 1889 oleh para pembesar kerajaan memilih puteranya bernama Tengku Ngah sebagai Sultan kesebelas, dengan gelar “ Sultan Assyaidis Syarif Hasyim I Abdul Jalil Syaifuddin” . Pada masa pemerintahannya terjadi penciutan struktur pemerintahan kerajaan, yaitu jabatan Wakil Raja yang sebelumnya ada dihapuskan.
Perlawatan beliau ke Eropa tahun 1889 dalam rangka menghadiri penobatan “ Ratu Wilhelmia “ di negeri Belanda sangat besar artinya, terutama dalam wawasan pemerintahan kerajaan Siak Sri Indrapura, kemudian untuk membangun istana kerajaan membuka kebun secara besar-besaran, membeli dan membangun toko-toko di Singapura, dan menggalakan perdagangan.
Sultan ini berhasil membawa kerajaan Siak mencapai kesejahteraan bagi rakyatnya, kendatipun pemerintahannya dibawah bayang-bayang pemerintah Belanda. Karya-karya besar yang telah dibuktikan masa pemerintahannya adalah : Terciptanya semacam “ Konstitusi” dari kerajaan Siak Sri Indrapura yang disebut dengan “ Bab Alkewa’id “, artinya Pintu Segala Pegangan Berdirinya Istana “ Asseayah Al Hasyimah”, Balaicung Sari , dan sebagainya.
Pada tahun 1908 Sultan Hasyim wafat dan digantikan oleh putera Mahkota yaitu Sayyed I Kasim yang pada waktu itu berumur 16 tahun. Untuk sementara menjalankan roda pemerintahan diangkatlah dua orang pejabat yang mewakili raja ( regent), yakni Tengku Besar Sayyed Syarif Syagaf dan Datuk Lima Puluh menteri kerajaan ( Tenas Effendi : 1972,45 ).
Selama tujuh tahun lamanya pemerintahan Siak Sri Indrapura dijalankan oleh dua wakil raja tersebut, karena Sultan Syarif Kasim masih menimba pengetahuannya di Batavia. Barulah pada tanggal 3 Maret 1915 dalam usia 23 tahun dan memiliki kematangan usia dan wawasan ilmu pengetahuan, siap mental dan fisik, Sayyed Kasim dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Siak Sri Indrapura kedua belas dengan gelar “ Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syaifuddin.”
Sultan kedua belas inilah yang merupakan Sultan terakhir kerajaan Siak Sri Indrapura. Sejak diproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka dengan serta merta dan didorong oleh niat ikhlas Sultan Syarif Kasim II telah menyerahkan harta pusaka beserta dengan istananya kepada pemerintah Indonesia, dan ini membuktikan bahwa sultan benar-benar berjuang untuk bangsa dan negara Indonesia, dan jelas mendukung proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada masa itu kerajaan Johor-Riau sudah menjalin persahabatan dengan Belanda dalam menghadapi Portugis, dan musuh-musuh lainnya, sehingga kerajaan-kerajaan di sekitar Selat Melaka menyegani mereka apabila ada kekuatan lain yang ingin mencobamenyerang atau menguasai Siak, angkatan laut kerajaan Johor – Riau akan segera beraksi untuk mengusir agresor tersebut.
Siak yang semula berada dibawah kekuasaan Johor Riau sudah berakhir, sebab Raja Kecil pada tahun 1723 mendirikan kerajaan yang berdiri sendiri di “ Buantan” . Beliau menjadi raja pertama dengan gelar “ Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah “ ( 1723 – 1746 ). Kemudian pada masa pemerintahan “ Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah “ Raja Kedua, Kerajaan Siak, resmi namanya menjadi Siak Sri Indrapura, artinya Kerajaan buantan merupakan cikal bakal dari kerajaan Siak Sri Indrapura.
Setelah mangkatnya Raja Kecil, Tengku Buang menaiki tahkta kerajaan menggantikan Raja Kecil dengan gelar Sultan Abdul Jalil Nuzaffar Syah tahun 1746. Sultan kedua ini memindahkan ibu kota kerajaan dari Buantan ke hulu sungai Siak yang bernama “ Nempurna”, nama kerajaan adalah Siak Sri Indrapura.
Pada tahun 1765 Sultan Abdul Jalil Muzaffar wafat, maka sebagai pengganti beliau diangkatlah putra Tengku Ismail dengan gelar “ Sultan Abdul Jalil Jalaluddin Syah”. Sebelum meninggal ayahnya berwasiat agar tidak mengadakan hubungan dengan Belanda, dan jangan sampai terjadi perselisihan atau perang sesama saudara, dan apabila pamannya Raja Alamuddin kembali ke Siak harus menyerahkan tahta kerajaan kepada pamannya, demi menentukan eksentensi kerajaan Siak Sri Indrapura. Rupanya Belanda mulai melirik atas pengangkatan Sultan Abdul Jalil Jalaluddin Syah, dan mulailah Belanda menjalankan “ Politik devide et empera”, politik pecah belah dalam upaya melakukan kembali intervensi terhadap kerajaan Siak Sri Indrapura yang sebelumnya mengalami kegagalan, karena kekalahannya dalam perang Guntung.
Dengan mematuhi wasiat dari ayahnya, maka Sultan Abdul Jalil Jalaluddin Syah menyerahkan tahta kerajaan kepada pamannya Raja Alamuddin dengan gelar “ Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah” dengan kurun waktu 1766 – 1780. Pada masa inilah Belanda mulai melakukan intervensi dan menanamkan pengaruhnya di kerjaan Siak Sri Indrapura, karena Belanda juga berperan untuk menjadikan Raja Almuddin sebagai Raja Siak Sri Indrapura. Namun hal ini membuat Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah tidak merasa senang atas eksistensi Belanda di Siak Sri Indrapura.
Atas beberapa pertimbangan, maka Sultan Abdul Jalil Almuddin Syah memindahkan ibu kota kerajaan dari Mempura ke Senapelan pada awal tahun 1767. Akhirnya Senapelan menjadi ramai dengan jalur perdagangan, dan dibangun pula sebuah Pekan ( Pasar) yang baru yang disebut “ Bandar Pekan”, akhirnya lebih dikenal menjadi “ Pekanbaru’, yang sekarang menjadi ibu kota provinsi Riau. Suatu hal yang dilakukan Sultan adalah merombak tradisi, yakni mengawinkan putrinya “ Tengku embung Badariah “ dengan seorang bangsa Wan Arab bernama “ Sayed Syarif Osman Ihnu Syarif : Abdul Hahman Syaha Buddin. Sejak beliaulah Keturunan Sultan Melayu di Siak Sri Indrapura dilanjutkan oleh Keturunan Arab.
Setelah Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah wafat tahun 1780, dan beliau digantikan oleh putranya Tengku Muhammad Ali dengan gelar “ Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah’ . Sebelum diangkat beliau adalah Panglima Besar Kerajaan, tahun 1760 berhasil menggagalkan Belanda untuk menguasai Siak Sri Indrapura.
Sultan ini tidak lama memegang kendali pemerintahan, karena beliau diangkat sebagai Sultan kelima kerajaan Siak Sri Indrapura dalam usia lanjut, masa pemerintahannya, beliau terus mengembangkan bidang perekonomian dan perdagangan, disamping itu juga membuka hubungan dagang dengan daerah tetangga Minangkabau, yaitu melalui Muara Mahat ke Payakumbuh. Demikian pula perdagangan dengan luar negeri ( Singapura ).
Setelah wafat anak pertama beliau Tengku Yahya dinobatkan sebagai Raja keenam Siak Sri Indrapura dengan gelar “ Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah” tahun 1782. Dia diangkat sebagai Sultan sesudah meninggalnya Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Nuazam Syah.
Sistem pemerintahan tidak berjalan baik, karena anak Tengku Embung Badariyah yang bernama “ Tengku Said Ali” menginginkan pula sebagai Sulatn Kerajaan Siak Sri Indrapura. Akibat tekanan dari Tengku Said Ali ini, akhirnya Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar memindahkan ibukota kerajaan kembali ke Mempura, untuk menghindarkan pertentangan dengan Tengku Said Ali.
Namun tekanan datang silih berganti dari Tengku Said Ali kepada Sultan Yahya maka Tengku Said Ali melakukan serangan sehingga memaksa Sultan Yahya ke luar dari istana Siak Sri Indrapura tahun 1784, dan menyingkir ke Kampar, dari sini beliau pergi ke Melaka untuk berziarah kemakam nenek moyangnya,dan akhirnya mangkat disana.
Setelah Sultan Yahya Abdul Jalil Nuzaffar Syah meninggal maka secara resmi diangkatlah Tengku Sayed Ali naik tahta kerajaan Siak Sri Indrapura dengan gelar “ Sultan Assyaidis Syarif Ali Syaifuddin Baalawi “ atau dipanggil Tengku Sayed Ali sejak inilah sistem pemerintahan atau struktur pemerintahan Siak Sri Indrapura keturunan Melayu-Arab.
Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin Baalawi sultan ketujuh memindahkan pusat pemerintahan Sri Mempura “ Kota Tinggi “, dengan pertimbangan Kota Tinggi terletak di tepi sungai Siak, dan memudahkan alur dagang. Masa Tengku Sayyed Ali inilah kerajaan Siak melakukan penaklukan-penaklukkan seperti Kota Pinang. Pagarawan, Batu Bara, Badagai, Kualuh, Panai, Bilah, Asahan, Serdang Langkat, Delim Temiang, Bangko, daerah Kubu, Pelalawan, Tanah Putih Kerajaan Sambasadi Kalimantan.
Tengku Sayyed Ali adalah Sultan yang cakap dan ahli dalam strategi perang, dan mampu menentukan para panglima perang yang punya kemampuan perang, sehingga pada masa pemerintahan beliau dapat menaklukkan mulai dari Temiang sampai Ke Pelalawan, dari Tapung sampai ke Sambas Kalimantan.
Pada tahun 1810 Tengku Sayyed wafat dan digantikan oleh Tengku Sayyed Ibrahim anak Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syarifuddin. Dia diangkat untuk menggantikan ayahndanya dengan gelar “ Sultan Syaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin Syah” yang merupakan Sultan ke delapan.. Dalam menjalankan pemerintahan beliau pada prinsipnya tidak sanggup karena beliau sering sakit-sakitan, sebagai pelaksanaan roda pemerintahan dijalankan Wali Sultan yakni “ Panglima Besar Tengku Muhammad “ .
Sultan inilah melakukan hubungan kerjasama dengan Inggris, pada tanggal 31 Agustus 1818 diikat suatu perjanjian dagang, yang ditanda tangani oleh Sultan Siak Sultan Ibrahim dan pihak Inggris Kolonel William Forquhar. Namun kontak dagang tersebut diktahui oleh Belanda, maka oleh Gubernur Belanda di Malaka A Corperns mengirim utusan “ Kapten D.Buys “ ke Siak untuk mengecek kebenarannya, dan sekaligus mengadakan perjanjian dengan Siak tahun 1822 di Bukit Batu. Isinya agar Siak tidak boleh mengadakan hubungan dengan negara lain, kecuali dengan Belanda.
Akibatnya Sultan menghadapi dua negara yakni Inggris dan Belanda, namun Sultan terlalu lemah dan tekanan dari kedua negara agresor tersebut menyebabkan Sultan seakan-akan teromabang ambing oleh dunia politik Eropa. Pada masa pemerintahannya inilah didirikan istana Siak Sri Indrapura di “ Kuala Mempura Kecil”, sekaligus sebagai tempat peristirahatan beliau, tahun 1827 beliau mangkat.
Setelah Sultan Sayed Ibrahim wafat, maka ia digantikan oleh Tengku Sayyed Ismail yakni anak saudara Sultan bernama Tengku Mandah yang kawin dengan Tengku Muhammad, yang bergelar “ Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin “ sultan ke sembilan.
Dengan pengangkatannya itu terjadi perselisihan dengan putera Sultan Ibrahim yakni Tengku Putera, karena ia juga ingin menjadi sultan. Akibat perselisihan tersebut Siak menjadi lemah, al ini menyebabkan daerah-daerah yang ditaklukkannya itu masa moyangnya, melepaskan diri dari kerajaan Siak Sri Indrapura. Belanda pun ikut memainkan politiknya, hal ini dengan ditandainya perjanjian atas Deli, Serdang, Langkat, dan Asahan masuk kedalam kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda pada tanggal 1 Februari 1858 ( DGE, Hall : 1988,549 ).
Sementara itu terjadi pula perselisihan dikalangan istana, dimana keluarga sultan yang tidak senang atas perjanjian antara Belanda dengan Sultan. Sultan Syarif Ismail wafat pada tahun 1864 sehingga digelar “ Marhum Indrapura “.
Setelah wafatnya Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin maka diangkatlah Sayed Kasim sultan kesepuluh dengan gelar “ Sultan Assyaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin pada tahun 1864. Beliau populer disebut “ Sultan Syarif Kasim I “ .
Sejak diangkat campur tangan Belanda sangat nampak sekali, sehingga pengangkatan Sultan Syarif Kasim I ini khabarnya dilakukan setelah mendapat restu “ Ratu Belanda “, di dalam Sultan ditempatkan pula seorang wakil pemerintah Belanda yang disebut “ Controleur “ .
Sementra itu pihak Kolonialisme Belanda yang terus melalukan konsolidasi pemerintahan didaerah pesisir timur Sumatera melihat prospek yang sangat baik bagi pengembangan perdagangan di masa datang. Untuk mempersiapkan hal tersebut, Belanda membentuk keresidenan baru yaitu keresidenan Sumatera Timur yang berpusat di Bengkalis, berdasarkan “ Putusan Gubernemen tanggal 15 Mei 1813 nomor 13 “ ( WHM.Schadeej 1918 : Bagian 11 Pasal 31 ). Wilayahnya meliputi antara lain Siak dan sekitarnya. Demikianlah Siak Sri Indrapura selama pemerintahan Sultan Syarif Kasim I, tahun 1889 beliau meninggal digelari dengan nama “ Marhum Mahkota “.
Mangkatnya Sultan Syarif Kasim I tanggal 21 Oktober 1889 oleh para pembesar kerajaan memilih puteranya bernama Tengku Ngah sebagai Sultan kesebelas, dengan gelar “ Sultan Assyaidis Syarif Hasyim I Abdul Jalil Syaifuddin” . Pada masa pemerintahannya terjadi penciutan struktur pemerintahan kerajaan, yaitu jabatan Wakil Raja yang sebelumnya ada dihapuskan.
Perlawatan beliau ke Eropa tahun 1889 dalam rangka menghadiri penobatan “ Ratu Wilhelmia “ di negeri Belanda sangat besar artinya, terutama dalam wawasan pemerintahan kerajaan Siak Sri Indrapura, kemudian untuk membangun istana kerajaan membuka kebun secara besar-besaran, membeli dan membangun toko-toko di Singapura, dan menggalakan perdagangan.
Sultan ini berhasil membawa kerajaan Siak mencapai kesejahteraan bagi rakyatnya, kendatipun pemerintahannya dibawah bayang-bayang pemerintah Belanda. Karya-karya besar yang telah dibuktikan masa pemerintahannya adalah : Terciptanya semacam “ Konstitusi” dari kerajaan Siak Sri Indrapura yang disebut dengan “ Bab Alkewa’id “, artinya Pintu Segala Pegangan Berdirinya Istana “ Asseayah Al Hasyimah”, Balaicung Sari , dan sebagainya.
Pada tahun 1908 Sultan Hasyim wafat dan digantikan oleh putera Mahkota yaitu Sayyed I Kasim yang pada waktu itu berumur 16 tahun. Untuk sementara menjalankan roda pemerintahan diangkatlah dua orang pejabat yang mewakili raja ( regent), yakni Tengku Besar Sayyed Syarif Syagaf dan Datuk Lima Puluh menteri kerajaan ( Tenas Effendi : 1972,45 ).
Selama tujuh tahun lamanya pemerintahan Siak Sri Indrapura dijalankan oleh dua wakil raja tersebut, karena Sultan Syarif Kasim masih menimba pengetahuannya di Batavia. Barulah pada tanggal 3 Maret 1915 dalam usia 23 tahun dan memiliki kematangan usia dan wawasan ilmu pengetahuan, siap mental dan fisik, Sayyed Kasim dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Siak Sri Indrapura kedua belas dengan gelar “ Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syaifuddin.”
Sultan kedua belas inilah yang merupakan Sultan terakhir kerajaan Siak Sri Indrapura. Sejak diproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka dengan serta merta dan didorong oleh niat ikhlas Sultan Syarif Kasim II telah menyerahkan harta pusaka beserta dengan istananya kepada pemerintah Indonesia, dan ini membuktikan bahwa sultan benar-benar berjuang untuk bangsa dan negara Indonesia, dan jelas mendukung proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
READ THIS ARTICLE :
• WHERE IS RIAU LOCATED
• VISA POLICY TO INDONESIA
• CANDI MUARA TAKUS HISTORY
• TRAVELLING KE PEKANBARU
• TRAVELLING TIPS TO INDONESIA
4 komentar:
sejarah perlu di pelajari dan di maknai, sehingga kita bisa menghargai bukan hanya pahlawan kemerdekaan, tp dari asal usul bangsa Indonesia ini ada
sejarahnya bagus banget sob...
thanks artikelnya.....
Sultan Syarif Kasim II sungguh orang yang baik sekali...
Sejarah ya. Cukup menarik juga
Posting Komentar