R.A. KARTINI : HABIS GELAP TERBITLAH TERANG
Raden Ajeng Kartini dilahirkan disebuah kabupaten Hindia Belanda yang tentram, di Desa Mayong, Jepara, Jawa Tengah, 28 Rabiulakhir tahun jawa 1808, 21 April 1879 Masehi.
Didalam diri Kartini bertemu dua kutub yang menawarkan pergolakan bathin disepanjang jalan hidupnya, dimana R.A Kartini menyuratkan kegelisahan hati nuraninya kepada Stella Zeehandelaar ( sahabat pena di Negeri Olanda ) . Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, adalah Bupati Jepara. Beliau ini putera Pangeran Ario Tjondronegoro, Bupati Demak yang terkenal suka akan kemajuan. Sedangkan ibunya berasal dari wanita “kebanyakan” , yang dijadikan selir oleh sang bupati. Garis ayah membuat dia punya kesempatan belajar di sekolah yang hanya boleh dimasuki anak-anak Belanda, Belanda indo, dan ningrat pribumi.
Di rumahnya yang teduh, Kartini diberi pelajaran tata krama keningratan Jawa dan agama Islam. Sesuai dengan tata krama itu pula, sejak usia 12 tahun ia mulai dipingit, tak lagi boleh bergaul dan bergerak sembarangan.
Empat tahun dalam pingitan, barulah Kartini boleh lagi melongok dunia diluar pagar kediamannya. Tapi, Kartini tidak puas. Apalagi setelah ia mendengar bisik-bisik akan dipersiapkan menjadi “ raden ayu” . Ia berpikir, satu-satunya jalan menembus dunia yang akan mengukungnya itu adalah pendidikan. Apalagi, pada waktu itu, di sekolah-sekolah partikelir di seantero Hindia Belanda Cuma terdapat sekitar 3.000 pelajar puteri. Sedangkan di sekolah “ Ongko Loro “ diseluruh Jawa dan Madura hanya terdaftar 713 anak dara.
Dalam dunia pingitan, satu-satunya jendela Kartini muda untuk memandang dunia adalah buku-buku yang diberikan ayah dan para saudaranya. Suatu hari ia terpukau pada sebuah buku yang ditulis Multatuli, pengarang ‘ Max Havelaar ‘ nan legendaris itu. ‘Minnebrieven’, demikianlah judul buku tersebut. Malalui karya Multatuli inilah Kartini tahu, ada dunia lain diluar pagar kabupaten yang selama ini melindunginya.
Buku kedua yang sangat berpengaruh pada Kartini adalah ‘ De Vrow en Socialisme ( Wanita dan Sosialisme )’, karya August Bebel. Buku ini, konon, menyadarkan Kartini akan kodrat yang sama antara wanita dan pria. Tenggelam dalam dunia bacaan, Kartini kemudian tahu bahwa diluar kampung halamannya, diluar tanah airnya, ada cakrawala lain, khususnya Barat, tempat wanita boleh mendapat pendidikan yang sama dengan kaum pria. Sukmanya mulai bergolak.
Pada 8 Agustus 1900, Kartini berkenalan dengan Mr. J.H.Abendanon, Direktur Pengajaran Belanda yang sedang berkunjung ke Jepara dengan istrinya. Pertemuan ini mendorong Kartini menulis dan mengajukan “rekes” ( permohonan ) untuk mendapat beasiswa belajar ke Holland. Malang tak dapat ditolak, permohonan itu baru diluluskan pada tahun 1903, menjelang saat Kartini dinikahkan dengan Raden Adipati Djojodiningrat, duda berusia 50 tahun yang menjabat Bupati Rembang.
Tapi, apalah daya seorang putri bupati ? Sedangkan pada waktu itu – bahkan hingga 1902 – disekujur Pulau Jawa dan Madura hanya ada empat bupati yang mampu menulis dan bercakap-cakap dalam bahasa Belanda. Yakni P.A.A. Achmad Djajadiningrat, Bupati Serang ; R.M. Toemenggoeng Koesoema Oetojo, Bupati Ngawi ; Pangeran Ario Hadiningrat, Bupati Demak dan paman Kartini ; serta ayah Kartini sendiri, Bupati Jepara.
Untunglah, ia segera mendapatkan seorang teman rohani, Stella Zeehandelaar. Mulailah surat-menyurat antara kedua sahabat berseliweran melintasi benua dan samudera. Kelak, surat-surat itu dimaktubkan dalam sebuah buku yang terbit pada 1911, dan diberi judul “ Door Duisternis tot Licht”. Pada tahun 1938, penerbit Balai Pustaka mencetak buku itu dalam bahasa Indonesia, melalui terjemahan pujangga Armin Pane, judulnya : “ Habis Gelap Terbitlah Terang “ .
Kartini sempat mendirikan sekolah perempuan di rumahnya di Jepara. Sekolah yang sama juga dibukanya di Rembang, setelah ia di boyong sang suami ke sana. Ia juga memberi perhatian dan ikut menggembirakan para perajin ukiran Jepara, yang saat itu nyaris gulung tikar. Ketika di Den Haag, Belanda, digelar pameran wanita pada 1898, Kartini menulis esai pengantar dengan judul ‘ Handschrift Jepara’. Esai ini diterbitkan lagi dalam buku “ De Batikkunst in Nedelandsch en Har Geschiedenis “ .
Umur Kartini, ternyata tak sepanjang cita-citanya. Setelah ia melahirkan seorang bayi laki-laki, keseahtannya terus memburuk. Pada 17 September 1904, ia wafat dalam usia 25 tahun, dan dimakamkan di Desa Bulu, Rembang, Jawa Tengah.
Di rumahnya yang teduh, Kartini diberi pelajaran tata krama keningratan Jawa dan agama Islam. Sesuai dengan tata krama itu pula, sejak usia 12 tahun ia mulai dipingit, tak lagi boleh bergaul dan bergerak sembarangan.
Empat tahun dalam pingitan, barulah Kartini boleh lagi melongok dunia diluar pagar kediamannya. Tapi, Kartini tidak puas. Apalagi setelah ia mendengar bisik-bisik akan dipersiapkan menjadi “ raden ayu” . Ia berpikir, satu-satunya jalan menembus dunia yang akan mengukungnya itu adalah pendidikan. Apalagi, pada waktu itu, di sekolah-sekolah partikelir di seantero Hindia Belanda Cuma terdapat sekitar 3.000 pelajar puteri. Sedangkan di sekolah “ Ongko Loro “ diseluruh Jawa dan Madura hanya terdaftar 713 anak dara.
Dalam dunia pingitan, satu-satunya jendela Kartini muda untuk memandang dunia adalah buku-buku yang diberikan ayah dan para saudaranya. Suatu hari ia terpukau pada sebuah buku yang ditulis Multatuli, pengarang ‘ Max Havelaar ‘ nan legendaris itu. ‘Minnebrieven’, demikianlah judul buku tersebut. Malalui karya Multatuli inilah Kartini tahu, ada dunia lain diluar pagar kabupaten yang selama ini melindunginya.
Buku kedua yang sangat berpengaruh pada Kartini adalah ‘ De Vrow en Socialisme ( Wanita dan Sosialisme )’, karya August Bebel. Buku ini, konon, menyadarkan Kartini akan kodrat yang sama antara wanita dan pria. Tenggelam dalam dunia bacaan, Kartini kemudian tahu bahwa diluar kampung halamannya, diluar tanah airnya, ada cakrawala lain, khususnya Barat, tempat wanita boleh mendapat pendidikan yang sama dengan kaum pria. Sukmanya mulai bergolak.
Pada 8 Agustus 1900, Kartini berkenalan dengan Mr. J.H.Abendanon, Direktur Pengajaran Belanda yang sedang berkunjung ke Jepara dengan istrinya. Pertemuan ini mendorong Kartini menulis dan mengajukan “rekes” ( permohonan ) untuk mendapat beasiswa belajar ke Holland. Malang tak dapat ditolak, permohonan itu baru diluluskan pada tahun 1903, menjelang saat Kartini dinikahkan dengan Raden Adipati Djojodiningrat, duda berusia 50 tahun yang menjabat Bupati Rembang.
Tapi, apalah daya seorang putri bupati ? Sedangkan pada waktu itu – bahkan hingga 1902 – disekujur Pulau Jawa dan Madura hanya ada empat bupati yang mampu menulis dan bercakap-cakap dalam bahasa Belanda. Yakni P.A.A. Achmad Djajadiningrat, Bupati Serang ; R.M. Toemenggoeng Koesoema Oetojo, Bupati Ngawi ; Pangeran Ario Hadiningrat, Bupati Demak dan paman Kartini ; serta ayah Kartini sendiri, Bupati Jepara.
Untunglah, ia segera mendapatkan seorang teman rohani, Stella Zeehandelaar. Mulailah surat-menyurat antara kedua sahabat berseliweran melintasi benua dan samudera. Kelak, surat-surat itu dimaktubkan dalam sebuah buku yang terbit pada 1911, dan diberi judul “ Door Duisternis tot Licht”. Pada tahun 1938, penerbit Balai Pustaka mencetak buku itu dalam bahasa Indonesia, melalui terjemahan pujangga Armin Pane, judulnya : “ Habis Gelap Terbitlah Terang “ .
Kartini sempat mendirikan sekolah perempuan di rumahnya di Jepara. Sekolah yang sama juga dibukanya di Rembang, setelah ia di boyong sang suami ke sana. Ia juga memberi perhatian dan ikut menggembirakan para perajin ukiran Jepara, yang saat itu nyaris gulung tikar. Ketika di Den Haag, Belanda, digelar pameran wanita pada 1898, Kartini menulis esai pengantar dengan judul ‘ Handschrift Jepara’. Esai ini diterbitkan lagi dalam buku “ De Batikkunst in Nedelandsch en Har Geschiedenis “ .
Umur Kartini, ternyata tak sepanjang cita-citanya. Setelah ia melahirkan seorang bayi laki-laki, keseahtannya terus memburuk. Pada 17 September 1904, ia wafat dalam usia 25 tahun, dan dimakamkan di Desa Bulu, Rembang, Jawa Tengah.
READ THIS ARTICLE :
• WHERE IS RIAU LOCATED
• LAMARAN ADAT MELAYU RIAU
• CANDI MUARA TAKUS HISTORY
• TRAVELLING KE PEKANBARU
• SEJARAH SIAK SRI INDRAPURA
• SEJARAH PENDIRIAN MASJID TANPA PAKU
10 komentar:
terimakasih atas kunjungannya sahabat :D
senang sekali bisa membaca sejarah pahlawan emansipasi wanita kita disini :D
salam
kangtatang
terimakasih kangtatang atas kunjungan dan komentarnya
emansipasi wanita jaman dulu dan sekarang berbeda, seorang kartini tidak mau para wanita terkekang di dapur , murni cita2 yg luhur tanpa pamrih dan tulus, tapi sekarang jamannya emansipasi artis pengen jadi penguasa, yg didukung partai demi meraup suara..bener2 mementingkan diri sendiri
thanks atas kunjungannya? kunjungan balik & Salam kenal (sy g bisa mengisi buku tamu kr layar sy kecil g bisa masuk keform buku tamu)....
Baru saya ingat kalau bulan ini adalah hari Kartini, namun masih adakah Kartini2 jaman sekarang yang pamrih dalam membangun bangsa kita...
salam hangat!
mmapir dari ruang ujian.. :D
Sekarang sudah banyak kartini yang telah sukses...semoga di masa yang akan datang para kartini-kartini tersebut bisa lebih maju dan menjadi yang lebih baik lagi tanpa melupakan kodratnya sebagai seorang wanita.....
Selamat Hari Kartini buat semua wanita di Indonesia. Semoga di masa mendatang para wanita-wanita di Indonesia bisa mengharumkan nama bangsa dan negara di dunia...
dulu waktu jadi guru gua pernah bikin artikel tntang kartini buat muridku,,hahaha,,jadi nostalgia,,thank u ya udh brtandang ke tempatku,, hehehe..berjuangg ye,,, keep bloggin friend.. ^^
Hidup kartini Indonesia!
kehadirannya telah membuka ruang yang terang terhadap kekebasan dan semangat kaum perempuan tuk bangkit dan ikut berkarier
Posting Komentar